Selasa, 08 November 2011

ASKEP TBC


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Di Indonesia maupun diberbagai belahan dunia, Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular yang kejadiannya paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1.5 juta orang, urutan kedua dijumpai di Cina yang mencapai 2 juta orang dan Indonesia menduduki urutan ketiga dengan penderita 583.000 orang.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil berkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk kedalam paru-parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.
Menurut WHO (1999), di Indonenia setiap tahun terjadi 583 kasus baru dengan kematian 130 penderita dengan tuberkulosis positif pada dahaknya. Sedangkan menurut hasil penelitian kusnindar 1990, jumlah kematian yang disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang pertahun. Kejadian kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah.  Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal.
Pada tahun 1995 pemerintah telah memberikan anggaran obat bagi penderita tuberkulosis secara gratis ditingkat Puskesmas, dengan sasaran utama adalah penderita tuberkulosis dengan ekonomi lemah. Obat tuberkulosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama enam bulan berturut-turut tanpa henti. Untuk kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah, yang setiap saat dapat mengingatkan penderita untuk minum obat. Apabila pengobatan terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya.

1.2.        Rumusan Masalah
1.2.1.   Apakah yang dimaksud dengan TBC?
1.2.2.   Bagaimana patofisiologi dari TBC?
1.2.3.   Apa saja klasifikasi dari TBC?
1.2.4.   Apa saja gejala – gejala yang timbul dari TBC?
1.2.5.   Bagaimana penularan dari TBC?
1.2.6.   Bagaimana pemeriksaan pada TBC?
1.2.7.   Bagaimana penatalaksanaan pada TBC?

1.3.        Tujuan
1.3.1.   Untuk mengetahui yang dimaksud dengan TBC
1.3.2.   Untuk mengetahui patofisiologi dari TBC
1.3.3.   Untuk mengetahui klasifikasi dari TBC
1.3.4.   Untuk mengetahui gejala – gejala yang timbul akibat TBC
1.3.5.   Untuk mengetahui cara penularan dari TBC
1.3.6.   Untuk mengetahui pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TBC
1.3.7.   Untuk mengetahui penatalakasanaan yang dilakukan pada penderita TBC

1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan mengunakan pendekatan normative yaitu metode kepustakaan dengan menggunakan teknik pencatatan dari berbagai sumber yang kemudian dirangkum dalam sebuah makalah


BAB II
PEMBAHASAN

A.   DEFINISI
Tuberkolusis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberkolosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya termasuk mengines ginjal, tulang dan nodus limfe. Agens infeksius utama, Mycobacterium tuberculosis, adalah batang aerobic tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan ultraviolet. (Bruner & suddart,2001) 
Tuberkulosis ditularkan melalui udara oleh partikel kecil yang berisi kuman tuberkulosis yang disebut “droplet nukleus”. Droplet nukleus yang berukuran 1-5 µm dapat sampai ke alveoli. Droplet nukleus kecil yang berisi basil tunggal lebih berbahaya daripada sejumlah besar basil didalam partikel yang besar, sebab partikel besar akan cenderung menumpuk dijalan napas daripada sampai ke alveoli sehingga akan dikeluarkan dari paru oleh sistem mukosilier.
Batuk merupakan mekanisme yang paling efektif untuk menghasilkan droplet nukleus. Satu kali batuk yang cepat dan kuat akan menghasilkan partikel infeksius sama banyaknya dengan berbicara keras selama lima menit. Penyebaran melalui udara juga dapat disebabkan oleh manuver ekspirasi yang kuat seperti bersin, berteriak, bernyanyi.
Satu kali bersin dapat menghasilkan 20.000–40.000 droplet, tapi kebanyakan merupakan partikel yang besar sehingga tidak infeksius. Pasien yang batuk lebih dari 48 kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien. Sementara pasien yang batuk kurang dari 12 kali/malam menginfeksi 28% dari kontaknya. Basil tuberkulosis dapat juga memasuki tubuh melalui traktus gastrointestinal ketika minum susu yang mengandung Mikobakterium tuberkulosis. Jalan masuk lain kedalam tubuh manusia adalah melalui luka pada kulit atau membran mukosa, tetapi penyebaran dengan cara ini sangat jarang. Jika fokus tuberkulosis telah terbentuk pada satu bagian tubuh maka penyakit dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain melalui pembuluh darah, saluran limfatik, kontak langsung, saluran cerna (sering dari intestinum kembali ke darah melalui duktus torasikus) dan terakhir yang paling sering melalui jalan napas.
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated immune response. Sel efektornya adalah makrofag, sedang limfosit (biasanya sel T) merupakan immunoresponse cell. Inhalasi partikel besar yang berisi lebih dari tiga basil tuberkulosis tidak akan sampai ke alveoli, partikel akan melekat di dinding bronkus dan akan dikeluarkan oleh sistem mukosiliari, tetapi inhalasi partikel kecil yang berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli.
Basil tuberkulosis yang menginfeksi paru dalam 6 – 8 minggu akan menimbulkan gejala karena telah mengaktifasi limfosit T helper CD 4 (cluster diffrentiated) agar memproduksi interferon gamma guna aktifasi makrofag sehingga meningkatkan kemampuan fagositosisnya. Disamping itu juga diproduksi TNF (tumor necrotizing factor) oleh limfosit T dan makrofag dimana TNF berperan dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal. Basil tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi dan masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag yang berfungsi untuk memakan dan membunuh basil tersebut. Setelah beberapa hari maka leukosit berkurang dan makrofag jadi dominan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut yang disebut dengan focus primer atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini dapat sembuh dengan atau tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Gabungan terserangnya kelenjar getah bening dengan fokus primer disebut kompleks ghon. Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post primer.

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).

B.   PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman M.tuberculosis adalah saluran pernapasan,saluran pencernaan(GI),dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara ,yaitu inhalasi droplet yang mengandung kuman- kuman basil tuberkel yang bersal dari orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama bagi jenis bovin,yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunosupresif. Tipe imunitas seperti ini biasanya local,melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respons ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil ;gumpalan basil yang cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus ,biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah,basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.
 Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama,leukosit diganti makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi,dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya,sehingga tidak ada sisa yang tertinggal,atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid,yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibrolas menimbulkan respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membetuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru disebut focus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer yang disebut kompleks Ghon. Kompleks ghon yang mengalami peekapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiologram rutin. Namun.kebanyakan infeksi Tb paru tidak terlihat secara klinis atau dengan radiografi. Respons lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan,yaitu bahan cair lepas ke dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tubercular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat berulang kembali di bagian lain di paru ,atau basil dapat terbawa sampai ke laring,telinga tengah atau usus. Walaupun tanpa pengobatan ,kavitas yang kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila peradangan mereda,lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan taut bronkus dan rongga. Bahan pengkijuan dapat mengental dan tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung,sehingga kavitas penuh dengan bahan pengkijuan,dan lesi mirip dengan lesi bwrkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradanagan aktif. penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil,yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen,yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan TB milier;ini terjadi apabila focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam system vascular dan tersebar ke organ-organ tubuh.
C.   KLASIFIKASI TBC
1.    Tuberkulosis paru primer
Biasanya asimtomatik atau bermanifestasi sebagai penyakit ringan mirip flu. Pada 95% kasus, imunitas menghentikan perkembnangan penyakit dan terjadi penyembuhan. Lesi ini menyembuh oleh fibrosis dan mungkin klasifikasi. Bukti radiologi infeksi primer yang sembuh mungkin ada atau mungkin juga tidak ada. Komplikasi terjadi pada 95% kasus tuberkulosis primer. Penyakit paru progresif cepat yang menyebabkan konsolidasi kaseosa ekstensif paru (pneumonia kaseosa), biasanya terjadi hanya pada anak yang malnutrisi dan defisiensi imun. Erosi pada granuloma kaseosa ke dalam bronkus dapat menyebabkan broncuspneumonia tuberkulosis, erosi ke dalam pembuluh darah dapat menyebabkan bakteremia hebat dengan banyak granuloma tuberkulosa kecil ditemukan di seluruh tubuh  (tuberkulosis milier).

2.    Tuberculosis Sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB masih hidup dalam keadaan dorman di jaringan parut. Sebanyak 90% di antaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB (TB pascaprimer/TB sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun,alkoholisme,keganasan,silikosis,diabetes mellitus dan AIDS. Berbeda dengan TB primer ,pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan organ lainnya jarang terkena,lesi lebih terbatas dan terlokalisasai. Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan granuloma,mirip dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa (perkijuan) yang luas dan disebut tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan menyebabkan perlunakan bahan kaseosa. Secara umum,dapat dikatakan bahwa terbentuknya kavitas dan manifestasi lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler (delayed hypersensitivity).
TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber eksogen,terutama pada usia dengan riwayat semasa muda pernah terinfeksi bakteri TB. Biasanya,hal ini terjadi pada daerah apical atau segmen posterior lobus superior (focus simon),10 – 20 mm dari pleura,dan segmen apical lobus inferior. Hal ini  mungkin disebabkan oleh kadar oksigen yang tinggi di daerah ini sehingga menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri TB. Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru. Kerusakan paru diakibatkan oleh produksi sitokin (tumor necroting factor) yang berlebihan. Kavitas yang terjadi diliputi oleg jaringan fibrotic yang tebal dan berisi pembuluh darah pulmona. Kavitas yang kronis diliput oleh jaringan fibrotic yang tebal. Masalah lainnya pada kavitas yang kronis adalah kolonisasi jamur seperti aspergillus yang menumbhkan mysetoma.

D.   TANDA dan GEJALA
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

1.    Gejala sistemik/umum

a.    Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

b.    Penurunan nafsu makan dan berat badan.

c.    Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).

d.    Perasaan tidak enak (malaise), lemah

2.    Gejala khusus

a.    Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.

b.    Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

c.    Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

d.    Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

E.   PENULARAN TBC
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
sebar_tbc
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.
1.    Penurunan berat badan.
2.    Demam, menggigil, dan berkeringat pada malam hari.
3.    Kelelahan dan kehilangan selera makan.

F.    PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terlatak di dalam akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial. Akan didapatdkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetepi bila infiltrat ini meliputi penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amfornik.
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotic amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipenia, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur graham-steel, bunyi P2 yang mengeras, tekana vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.
Bila tuberculosis mengenai pleura sering tebentuk efulsi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberculin yang positif.

G.   PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/ PENUNJANG
1.    Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)
Teknik standar(tes mantoux) adalah dengan menyuntikkan tuberkulin (PPD) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 unit (TU) tuberkulin secara intrakutan pada sepertiga atau permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Biasanya dianjurkan menggunakan spuit tuberkulin sekali pakai dengan ukuran jarum suntik 26-27 G. Jarum yang pendek ini dipegang dengan permukaan yang miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1ml disuntikkan dengan tepat dan cermat.
Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48-72 jam sesudah penyuntikkan dan reaksi harus dibaca dalam periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Yang harus dicatatdari reaksi ini adalah diamter indurasi (pembengakakan yang teraba) dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi (meraba daerah tersebut dengan jari tangan ) . Tidak adanya indurasi sebaik-baiknya dicatat sebagai “0 mm” bukan negatif.
Interpretasi tes kulit menunjukkan adanya berbagai tipe reaksi. Daerah indurasi sebesar 5mm atau lebih dianggap reaksi positif pada kelompok tertentu dan mencerminkan adanya sensitivitas yang berasal dari infeksi dengan basil. Daerah indurasi yang diameternya sebesar 10 mm atau lebih juga diklasifikasikan positif pada kelompok tertentu, sedangakan indurasi sebesar 15 mm atau lebih adalah positif pada semua orang dengan faktor risiko TB yang tidak diketahui.
Reaksi positif terhadap tes tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi belum tentu terdapat penyakit secara klinis. Namun test ini adalah allat diagnostik penting dalam mengevaluasi seorang pasien dan juga berguna untuk menentukan prevalensi infeksi TB pada masyarakat.

2.  Reaksi Hipersensitivitas
      Patogenesitas basil tidak berasal dari keracunan intristik apapun,tetapi dari kemampuannya untuk menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada pejamu. Tuberkuloprotein yang berasal dari basil agaknya menimbulkan reaksi tersebut. Respons peradangan dan nekrosis jaringan adalah akibat dari respons hipersensitivitas selular (tipe lambat) dari penjamu terhadap basil Tb. Reaksi hipersensitivitas Tb biasanya terjadi 3 – 10 minggu setelah infeksi. Individu yang terpajan basil tuberkel membentuk limfosit-T yang tersensitisasi. Bila derivat protein tuberculin yang telah dimurnikan (PPD) disuntikan ke dalam kulit individu yang limfositnya sensitive terhadap tuberkuloprotein maka limfosit yang sensitif akan mengadakan reaksi dengan ekstrak tersebut dan menarik makrofag ke daerah tersebut.




3.    Tes Anergi
Anergi adalah tidak adanya respons hipersensitivitas tipe lambat terhadap pajanan antigen terdahulu,seperti tuberculin. Anergi spesifik adalah tidak adanya reaktivitas antigen seseorang ; anergi nonspesifik secara keseluruhan adalah ketidakmampuan untuk bereaksi terhadap berbagai antigen (slovis,pittman,Haas,2000). Pada seseorang dengan imunosupresif,respons selular hipersensitivitas tipe lambat seperti reaksi tuberculin dapat menurun atau menghilang. Penyebab anergi dapat berasal dari infeksi HIV,sakit berat atau demam,campak (infeksi virus lainnya),penyakit Hodgkin,sarkoidosis,vaksinasi virus hidup dan pemberian obat kortikosteroid atau obat imunosupresif. Berdasarkan CDC (2000),yaitu 10% hingga 25% pasien dengan penyakit Tb memiliki reaksi yang negative ketika diuji dengan tes tuberculin intradermal pada saat didiagnosis sebelum pengobatan dimulai. Kira – kira sepertiga orang yang terinfeksi HIV dan lebih dari 60% pasien dengan AIDS dapat memperlihatkan hasil reaksi tes kulit yang kurang dari 5 mm,walaupun mereka terinfeksi dengan M. tuberculosis . infeksi HIV dapat menekan respons tes kulit karena jumlah CD4+T limfosit yang menurun hingga kurang dari 200 sel /mm3. Anergi juga dapat muncul bila jumlah CD4+T limfosit cukup tinggi. Anergi dideteksi dengan memberikan sedikitnya dua antigen hipersensitivitas dengan menggunakan metode mantoux. Tidak adanya standarisasi dan hasil data ,membatasi evaluasi keefektifan tes anergi.
4.    Vaksinasi BCG
Bacille Calmette Guerin (BCG) ,satu bentuk strain hidup basiil TB sapi yang dilemahkan adalah jenis vaksin yang paling banyak dipakai di berbagai negara. Pada vaksinasi BCG, organisme ini disuntikkan ke kulit untuk membentuk fokus primer yang berdinding berkapur dan berbatas tegas. BCG teatap berkemampuan untuk meningkatkan resistensi imunologis pada hewan dan manusia. Infeksi primer dengan BCG memiiliki keuntungan daripada infeksi dengan organisme virulen karena tidak menimbulkan penyakit pada pejamunya.
Vaksinasi dengan BCG biasanya menimbulkan sensitivitas terhadap tes tuberkulin. Derajat sensitivitasnya bervariasi, bergantung pada strain BCG YANG DIPAKAI dan populasi ynag divaksinasi. Test tuberkulin kulit tidak merupakan kontraindikasi bagi seseorang yang telah divaksinasi oleh BCG  dan hasil reaksi tes tuberkulin kulitnya berindurasi sama atau lebih dari 10 mm, khusunya bila salah satu keadaan dibawah iini juga menyertai orang tersebut :
a.    Kontak dengan kasus TB.
b.    Berasal dari negara yang berprevalensi TB tinggi.
c.    Terus-terusan terpajan dengan populasi yang berprevalensi TB tinggi contonya rumah penampungan bagi tuna wisma,  pusat terapi obat.
Walaupun BCG telah diterima luas di seluruha dunia, tetapi vaksinasi tidak direkomendasi secara luas untuk melawan TB di Amerika Serikat karena resiko infeksi yang rendah dan keefektifan vaksin yang bervariasi. Vaksinasi BCG  hanya memiliki tingkat keefektifan 50% untuk mencegah semua bentuk TB. Berdasarkan rekomendasi dari CDC 1996, BCG jarang diindikasikan. Penyedia perawatan kesehatan yang mempertimbangkan vaksin BCG untuk pasien mereka, diharapkan untuk mendiskusikan keadaan tersebut dengan staf pengawasan TB di departemen kesehtan negaranya  masing-masing.

5.    Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi seringkali menunjukkan adanya TB, tetapi hampir tidak dapat membuat diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini saja karena hampir semua manifestasi TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya. Secara patologis, manifestasi dini TB paru biasanya berupa suatu kompleks kelenjar getah bening parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat. Dapat juga terlihat adanya pembentukkan kavitas dan gambaran penyakit yang menyebar yang biasanya bilateral.
Ketidaknormalan apa pun pada foto dada seseorang yang positif HIV dapat mengidikasikan adanya penyakit TB. Sebenarnya, seseorang yang positif HIV dengan penyakit TB dapat memiliki foto dada yang normal.

6.    Pemeriksaan Bakteriologik
Walaupun urine dari kateter, cairan otak dan isi lambung dapat diperiksa secara mikroskopik, tetapi pemeriksaan bakteriologik yang paling pentting untuk diagnosis TB adalah pemeriksaan sputum. Metode perwarnaan Ziehl – Neelsen dapat dipakai. Sediaan apus digenangi dengan zat karbolfuksin yang dipanaskan, lalu dilakukan dekolorisasi dengan alkohl asam. Sesudah  itu diwarnai lagi denagn metilen biru atau briliant green. Cara perwarnaan fluorensensi memakai larutan auramin-rodamin. Setelah larutan ini melekat pada mikobakteri maka maka tidak dapat didekolorisasi lagi dengan alkohol asam. Pemeriksa dapat memperkirakan jumlahbasil tahan asam (AFB) yang terdapat pada sediaan. Sediaan yang positif memberikan petunjuk awal untuk menegakan diagnosis, tetapi suatu sediaan yang negatif tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi penyakit.
Cara penegakan diagnosis yang paling tepat adalah dengan memakai teknik biakan. Pemeriksaan biakan harus dilakukan pada semua sediaan. Mikrobakteri tumbuh lambat dan membutuhkan suatu sedia yang kompleks. Koloni matur, akn berwarna krem atau kekuningan, seperti kutil dan bentuknya seperti kembang kol. Jumlah sekecil 10 bakteri/ml media konsentrat yang telah diolah dapat dideteksi oleh media biakan ini. Pertumbuhan mikrobakteri yang diamati pada media biakan ini sebaiknya dihitung sesuai dengan jumlah koloni yang timbul. Mikroorganisme membutuhkan waktu 6 hingga 12 minggu pada suhu 360 hingga 370C untuk dapat tumbuh bila menggunakan tes biokimia yang biasa. Namun, bila yang digunakan untuk inokulasi adalah medium cair seperti sistem radiometrik BACTEC dan metode cepat yang digunakan untuk indentifikasi spesies, hasil biakan seharusnya sudah ada dalam waktu 7-12 hari pengumpulan sediaan.
Pada saat ini sudah tersedia berbagai macam tes untuk indentifikasi hampir semua spesies mikrobakteri dan do samping itu telah dikembangkan berbagai program komputer untuk membantu menginterpretasi data. Misalnya, probe asam nukleat dapat mengidentifikasi spesies dalam waktu 2 hingga 8 jam. High performance liquid chromatography (HPLC) dengan cepat mendeteksi perbedaan asam mikoliat dalam spektrum pada dinding sel. Teknik molekular terbaru seperti rangkaian asam deoksiribonukleat (DNA) dan reaksi rantai polimerase (PCR) yang dikerjakan pada sputum atau sediaan klinis lain untuk mendiagnosis penyakit TB sedang berkembang dengan cepat. The U.S. Food and Drug Administration (FDA) telah menerima tes amplifikasi asam nukleat (NNA). Namun, NAA tidak dapat menggantikan kebutuhan akan pulasan AFB rutin dan biakan.
Uji kerentanan obat harus dilakukan pada hasil isolasi awal dari semua pasien untuk menyakinkan apakah terapi obat TB yang direkomendasikan kepada pasien akan efektif (ATS,2000). Uji tersebut harus diulang bila pasien tidak membaik atau terus mengahsilakn biakan sputum yang positif setelah dua bulan terapi.


H.   PENATALAKSANAAN

Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberculosis paru menjadi tiga bagian,yaitu pencegahan,pengobatan ,dan penemuan penderita (active case finding)
1.    Pencegahan Tuberkulosis Paru

a.       Pemeriksaan kontak,yaitu pemeriksaan terhadap induvidu yang bergaul erat dengan penderita tuberculosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberculin,klinis,dan radiologis. Bila tes tuberculin positif,maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negative,diberikan BCG vaksinasi. Bila positif ,berarti terjadi konversi hasil tes tuberculin dan diberikan kemoprofilaksis.
b.      Mass chest X-ray,yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya:
1)      Karyawan rumah sakit/Puskesmas /Balai pengobatan
2)      Penghuni rumah tahanan
3)      Siswa-siswi pesantren
c.       Vaksinasi BCG
d.      Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kg BB selama 6- 12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yangb masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif ,sedangkan kemoproffilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:
1)      Bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberculin positif karena risiko timbunya TB milie dan meningitis TB
2)      Anak dan remaja di bwah 20 tahun dengan hasil tes tuberculin positif yabg bergaul erat dengan penderita TB yang menular.
3)      Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberculin dari negative menjadi positif
4)      Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang
5)      Penderita diabetes mellitus
e.       Komunikasi ,informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pembrantasan Tuberkulosis Paru Indonesia – PPTI)

2.    Pengobatan Tuberkulosis Paru
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati juga untuk mencegah kematian ,kekambuhan ,resistensi terhadap OAT ,serta memutuskan mata rantai penularan. Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberculosis paru,berikut ini adalah ujbeberapa hal yang penting untuk diketahui. Mekanisme kerja obat anti – tuberculosis (OAT) Aktivitas bakterisidal ,untuk bakteri yang membelah cepat
1)    Ekstra seluler ,jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin ( R ) dan Streptomisin (S).
2)    Intraseluler ,jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid (INH)
b.       Aktivitas sterilisasi terhadap the persisters (bakteri semidormant)
1)      Ekstraseluler ,jenis obta yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid.
2)      Intraseluler,untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid. Untuk very slowly bacilli ,digunakan Pirazinamid (Z)
c.           Aktivitas bakteriostastis,obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
1)      Ektraseluler jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E),asam para-amino salislik (PAS),dan sikloserine.
2)      Intraseluler,kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniasid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.

                              Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi dua fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-5 bulan).paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin,Isoniazid,Pirazinamid,Streptomisin,dan Etambutol (Depkes RI,2004). Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB,berat ringannya penyakit,hasil pemeriksaan bakteriologi ,apusan sputum dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu,perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC). DOTSC yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen,yaitu:
1.      Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
2.      Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung ,sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3.      Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek di bawah pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO),khususnya dalam dua bulan pertama di mmana  penderita harus minum obat setiap hari.
4.      Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5.      Pencatatan dan pelaporan yang baku.

















BAB III
PENUTUP

3.1.        Simpulan
Tuberkolusis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberkolosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya termasuk mengines ginjal, tulang dan nodus limfe. Agens infeksius utama, Mycobacterium tuberculosis, adalah batang aerobic tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan ultraviolet. (Bruner & suddart,2001). TBC terbagi menjadi 2 yaitu :
1.    Tuberkulosis paru primer
2.    Tuberculosis Sekunder
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
a.    Gejala sistemik/umum
b.    Gejala khusus
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2007. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 Vol II. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif.2008.Asuhan Keperawatan dan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan;Jakarta: Salemba Medika

http://pengertian TBC.com, diakses 5 Oktober 2011

http://penularan,pencegahan,patogenesis TBC.com, diakses 5 Oktober 2011

http://pengobatan pada TBC.com, diakses 5 Oktober 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar